H-10

10 hari dari hari ini insya Allah aku akan memulai kehidupan baru dengan seseorang yang dengannya aku percaya bahwa kehidupan nanti, apapun kondisinya, akan baik-baik saja. Yang dengannya semua rasa aman dan damai ikut serta. Yang dengannya akhirnya kami bisa sampai di titik untuk sama-sama memiliki tujuan sakinah, mawaddah, warahmah.

It's been a year since he asked me to be with him with a purpose, forever, dunya wal akhirah. Bagiku  dan mungkin baginya, perjalanan untuk sampai disini enggak gampang. Banyak ego yang dikedepankan, yang membuat banyak koreksi namun minim afeksi. Banyak waktu berdebat, dan banyak waktu aku merasa kita enggak kunjung sepakat. Gak memungkiri, ternyata adanya tujuan enggak serta merta memudahkan perjalanan kami. Somehow tujuan ini bisa jadi turning point tapi justru ini juga yang membuat kita kadang pesimis, lelah dan menjadi tidak yakin bahwa apakah tujuan ini layak? Keraguan muncul.

Di tengah ratusan konflik ini, as the time goes by we learn each other, berantem, diskusi, baikan, berantem, diskusi lagi, baikan lagi kemudian aku berpikir,

Sampai kapan aku terus menjunjung ego, membandingkan, mencari kenyamanan diri sendiri? Sampai kapan aku hanya berfokus pada kekurangannya? sampai kapan akan seeking for perfection?

Akhirnya, aku sampai pada titik dimana aku berpikir jika aku terus mencari yang terbaik, dia pun harusnya bisa melakukan hal yang sama. Tapi nyatanya dia memilih menetap. Dia memilih untuk memperjuangkan hubungan ini. Disinilah aku tersadar bahwa yang telah aku lakukan salah. Comparison kills. Seharusnya aku bisa bersyukur, seharusnya aku bisa berpikir bahwa dengan siapa pun itu it would be same difficulties but different packaging. Asalkan deal breaker tidak pernah dia langgar selama ini. All would be fine. Toh kalau dilihat jauh ke belakang, he was doing his best, he knows how to respect me, dan inti semuanya... dia bisa menerima aku seutuhnya.

Jadi kenapa aku malah fokus ke hal lain yang enggak prinsipil yang malah membuat hubungan jadi terlihat lebih sulit? Kenapa enggak fokus pada diriku sendiri? Kenapa enggak berjuang juga untuk mengenali hubungan dan dirinya lebih jauh, belajar untuk komunikasi lebih menyeluruh, dan menjadikanku pribadi dengan syukur yang lebih utuh.

Mungkin, ini jugalah yang akhirnya menjadikanku lebih berhati-hati untuk menceritakan this kind of the important stage in my life di media sosial. Aku berpikir sudah bukan saatnya aku membagikan kehidupan privasi yang terlalu intim ini untuk semua yang mengenalku sekadarnya. Simply, ku pikir tujuannya untuk apa? Padahal aku sendiri sedang berjuang untuk berdamai dengan semua konflik yang ada. Mengapa harus fokus pada hal yang tidak esensial. Toh pada akhirnya ketika kabar baik ini datang, semua orang akan tau.

Memang benar apa kata banyak orang, keraguan memang akan selalu ada, apalagi setan akan selalu berusaha menggagalkan niat baik untuk ibadah. Apalagi untuk ibadah terpanjang, seumur hidup. Terlebih saat ini adanya Covid outbreak ini sempat membuat kami makin stress karena bolak-balik bikin plan with uncertainty everywhere. Lamaran serba dadakan dan seadanya, nikah pun nanti seadanya. Ya tidak apa-apa. Kami sudah belajar dan berdamai bahwa life is full with uncertainty, isn't it? Insya Allah perjalanan sebelumnya akan menjadi bekal belajar bahwa konflik dan cobaan yang sudah dialami, insya Allah akan menyehatkan dan menumbuhkan kami.

Seperti kata dia, let's embrace it honey.

So here we are now.

Bismillah. Semoga kami bisa jadi dua pribadi yang bertanggung jawab, menyejukkan satu sama lain,  serta pribadi yang tidak lelah belajar.

Mohon doa.

Counting days... 

Comments

Popular posts from this blog

1

Jangan sombong, banyakin bersyukur

sahabat kakak