Living As A Teacher

Tahun 2018 ini Alhamdulillah sudah tiga tahun menjadi seorang guru. Enggak semuanya bikin bahagia, enggak juga semuanya bikin sedih. Namanya juga hidup kan ya. Tapi tetep terus dijalani karena inilah yang sudah dipilih. Seru enggak sih jadi guru? Kalau ditanya ini, aku langsung jawab: SERU. Ini beneran. Aku yang dulu enggak minat sama sekali jadi guru, masuk kuliah pendidikan aja karena disuruh mama, sekarang bisa jatuh cinta dengan profesi mengajar. 

Kenapa bisa jatuh cinta? Karena ternyata seseru ini loh jadi guru. Bertemu siswa-siswa yang menginspirasi. Bertemu mereka tiap hari dengan segala canda tawanya dan dengan segala kehidupan mereka yang membuatku banyak belajar. Belajar memahami, belajar menghargai, belajar ikhlas, belajar untuk selalu menjadi manusia paling bersemangat apapun kondisinya, dan yang paling terasah adalah belajar sabar. 

Begitu banyak hal yang berkembang dari diri ini setelah menjalani hari-hari sebagai guru. Selalu muluskah? Enggak juga. Banyak kok godaannya, banyak cobaannya. Awal-awal ngajar sering banget nangis pulang ngajar karena salah konsep pas ngajar, enggak bisa jawab soal (padahal soal level SMA doang), cobaan siswa-siswa di kelas yang sangat beranekaragam, cobaan orang tua siswa, belum lagi cobaan dari diri sendiri, males lah, capek lah. Makanya enggak sedikit teman-temanku yang akhirnya beralih profesi. Emang sesulit itu loh jadi guru. Jadi figur yang harus selalu baik di depan siswa. Hingga aku memanggil mereka netizen. Karena memang kadang mulut mereka udah kaya netizen. Mengomentari dandanan, pakaian, cara kita bicara, hingga medsos kita. Tapi yang paling sulit mungkin menerima kenyataan tentang gajinya ya. Dengan sekian banyak tanggung jawab intelektual dan moral yang diberikan untuk seorang guru tapi enggak diimbangi dengan gajinya. 

Oke orang bilang bahwa menjadi guru itu pengabdian. Memang begitu adanya. Sadar enggak sadar semua guru-guru muda memang sedang mengabdi dengan gaji seadanya. Bahkan untuk saat ini gajiku sebagai guru enggak akan bisa mengimbangi gaji teman-teman semua yang bekerja di perusahaan. Belum lagi adanya social gap lain. Betapa merasa jadi orang yang roaming banget saat kumpul dengan teman-teman dengan karir lain, disaat kehidupanku isinya siswa lagi siswa lagi. Mereka udah mengobrol masalah perusahaan yang hanya dimengerti oleh orang-orang yang memang bekerja di perusahaan, bukan di sekolah. Disaat teman-temanku membicarakan bonus, askes berkelas, kpr rumah, beli mobil, investasi, meeting di hotel mewah, beli ini beli itu yang bermerk. Aku yang hanya sebagai guru hanya bisa senyum karena gajiku belum sampai segitunya, belum pernah dapat bonus, bahkan belum sampai bisa nabung untuk nyicil mobil.

Sampai sekarang aku masih harus pintar-pintar atur uang bulanan supaya semua bagian keinginan ada alokasinya. Makanya banyak teman-teman guru lain yang akhirnya menyerah dan memilih karir lain selain mengajar. Karena mengajar itu, lama kaya katanya. Aku pun berpikir seperti itu. Makanya kuusahakan cari tambahan uang lain, mengajar bimbel lah, privat, jualan gambar. Ini semuanya demi kehidupan yang lebih layak aja. Kecuali aku ngajar di sekolah internasional kota besar sebagai guru tetap, banyak proyek, plus punya jabatan penting juga di sekolah. Mungkin bisa juga aku ngajar di sekolah sebagai PNS, sudah sertifikasi, lalu sorenya ngajar bimbel, malamnya ngajar privat. Mungkin aja dapat gaji setara karyawan perusahaan, masih setara karyawan loh ya, harus usaha lagi kalau untuk setara manajer. Kalau hanya mengajar di satu atau dua tempat dalam masa kerja masih di bawah lima tahun ya pas-pasan. Social pressure pun akan terus terjadi. 

Tapi selama dua bulan libur ini pemikiran tentang social pressure itu akhirnya bisa mereda. Betapa waktu dua bulan ini aku gunakan untuk di rumah tanpa harus cuti, menemani orang tua yang memang sehari-hari hanya tinggal berdua karena aku bekerja di Bandung. Mungkin waktu seperti ini tidak akan dirasakan teman-teman yang bekerja sebagai karyawan. Belum lagi rasa kepuasaan dan kebahagiaan mengajar yang tidak akan bisa digantikan dengan uang. Betapa lingkungan mengajar yang dipenuhi oleh optimisme dan kebahagiaan siswa tidak bisa ditemukan di pekerjaan lainnya. Tidak akan ada yang bisa menggantikan rasa bersyukur dan bahagianya seorang guru saat melihat siswanya berhasil, berbahagia dengan pencapaiannya, lalu mengucap dengan mata berbinar bahagia, “Terimakasih banyak ya, Bu.” Honestly, we are nothing for them. We only support them. They did the best just because they are. And when they really thanks us, wholeheartedly, it can touch our heart, keep shining in our heart, and being an affection. Ini yang membuatku bersyukur dengan apa yang sudah kudapatkan hingga sekarang. 

Aku pun sadar. Hitungannya ya sama saja. Uang dari gaji dan bonus yang banyak itu karena memang teman-temanku bekerja hingga larut malam, kerja keras bagai kuda. Belum lagi tekanan dari atasan, while pekerjaan pun tidak berhenti datang karena target perusahaan. Untuk libur panjang pun harus dibatasi oleh waktu cuti. Jadi bisa dibilang, we can’t hold two things together, money and time. Yang gajinya selangit mungkin enggak banyak me time-nya, enggak banyak waktu untuk keluarganya, yaa meskipun pastinya mereka bahagia juga dengan pekerjaannya. Sementara jadi guru, meskipun gaji pas-pasan bisa punya lebih banyak waktu untuk diri sendiri dan keluarga.

Padahal sebenernya guru pun bisa-bisa aja banyak uang, pagi mengajar sekolah, sorenya mengajar bimbel, malam privat, weekend bisnis. Aku pernah merasakan hal ini, penasaran. Jujur uang yang didapatkan memang mencapai target yang kuinginkan tapi sungguh capek luar biasa. Hingga akhirnya aku berpikir jadi sebenarnya apa yang dicari? Ini yang menjadikan aku semakin banyak bersyukur dengan liburanku saat ini. Bersyukur masih bisa menghabiskan liburan dengan orangtua, menemani mereka di rumah, belajar banyak hal, bertemu banyak teman-teman. 

So it’s not only about how much your salary for a month. Karena semuanya ada bahagianya masing-masing. Ada porsinya masing-masing,   

Comments

Popular posts from this blog

1

Jangan sombong, banyakin bersyukur

sahabat kakak