Journey of Binar (pregnancy story)
Because some life events just warrant something more than an Instagram caption, a Twitter thread and I guess this also does.
My dear Binar,
if someday you read this post, please understand that I just want to let the world know that our amazing journey is worth to be kept in this portable platform, as the brain is also has limit to keep it as memory. So here is the story of beginning of your breath in this world, our struggle and our magical love action.
.
Engga pernah menyangka akhirnya bisa ada di fase ini, jadi istri dan ibu dari Binar. Alhamdulillah rasa syukur tidak berhenti untuk Allah atas semua berkah di perjalanan pernikahan yang belum satu tahun ini. Kalau diingat-ingat lagi lucu rasanya pas tau hamil di usia pernikahan belum sebulan, suami pun gitu. "Kok cepet amat.." datar, happy engga sedih juga engga, lebih ke kaget dan khawatir karena dikasih secepet ini padahal belum nyiapin mental punya anak. Mentalnya baru disiapin buat honeymoon hahaha emang saat itu kita belum sempat honeymoon karena lagi pandemi dan sangat kepengen punya kesempatan honeymoon dulu. Eh engga taunya keburu hamil dan bikin semua rencana berantakan.
Beberapa minggu setelah hasil testpack positif, aku dan suami masih biasa aja, tanda-tanda hamil trimester 1 juga belum muncul, aku masih bisa aktivitas biasa. Usia kehamilan sekitar 2 bulan (terhitung dari hari pertama haid terakhir) udah mulai terguncang yang bikin kapok hamil haha cupu. Morning sickness dan benar-benar tak berdaya, muntah bisa lebih dari 3 kali sehari, pusing, lemes, sampai akhirnya suami minta aku resign dari kerjaan bimbel dan fokus ngajar di sekolah aja. Ngajar di sekolah pun sempat keganggu, sering cancel ngajar karena pusing dan lemes tak tertahankan, tugas admin juga banyak yang terbengkalai. Akhirnya sempet berpikir mau resign dari sekolah juga, tapi kemudian suami dan mama menguatkan untuk bertahan seenggaknya sampe 3 bulan kehamilan. Untungnya sekolah full remote learning jadi aku bisa stay di rumah terus dan nyuri-nyuri istirahat di sela-sela jam ngajar. Part ini yang bikin banyak bersyukur banget, satu hikmah dari pandemi yang bener-bener aku rasain. Tapi tetep aja karena banyak tiduran, semua kerjaan rumah pun ikut terbengkalai. Awalnya suami sempet kelabakan karena harus nyiapin makan sendiri dan makananku (padahal si aku picky eater banget) dan suami bukan tipe lelaki yang bisa di dapur. Kerjaan rumah tangga lainnya masih lah bisa kepegang saat weekend, hampir semua suami yang kerjain sendiri, nyuci, nyetrika, ngepel, nyapu, bersihin kamar mandi. Bersyukur lagi dapat suami yang pernah 11 tahun ngekost jadi bisa handle part ini. Seenggaknya rumah jadi agak rapi dan bersih tanpa tanganku.
Akhirnya setelah sebulanan lebih berjuang dengan morning sickness dan jungkir balik keadaan rumah, bantuan dari mama pun datang. Karena pandemi, kerjaan mama dan bapak pun bisa remote, alhasil bisa ke Bandung untuk nemenin aku di rumah karena suami engga remote working. Hampir 3 minggu mama nemenin di Bandung, sesungguhnya ini nikmat luar biasa. Bersyukur banget banget karena ada bantuan mama ini, bener-bener meringankan hidup. Setelah 3 minggu, mama dan bapak pun itu balik lagi ke Rangkas. Sempet nangis kejer pas ditinggal mama karena merasa belum sanggup di rumah lagi berdua sama suami (tanpa bantuan mama), tapi alhamdulillah setelah mama pulang itu, morning sickness membaik karena trimester pertama udah terlewati. Muntah cuma sekali-kali, nafsu makan mulai ada. And it's the beginning of happy pregnancy!
Setelah masuk 4 bulan kehamilan alhamdulillah kehamilan engga pernah ada keluhan. Kontrol USG kedua di minggu 26 pun akhirnya ketauan jenis kelamin bayi, perempuan! Bayi dan aku selalu sehat setiap kontrol. Sampai akhirnya di kehamilan hampir 8 bulan, hasil kontrol engga memuaskan karena Hb-ku cuma 10 dari normalnya 11 lebih. Pertolongan kedua pun datang, akhirnya memutuskan untuk nunggu lahiran di Rangkas aja supaya makanan terkontrol. Sebulan setengah sebelum HPL pun dijemput bapak, suami ditinggal di Bandung sendiri, drama banget deh ini kehidupan sebulanan tanpa suami (baca postku tentang homesick ini deh), biasa ketemu suami setiap hari eh ini jadi 2 minggu sekali.
Selama nunggu HPL (HPL ku antara 27 Maret - 4 April) ini alhamdulillah engga ada keluhan tapi setiap kontrol selalu deg-degan karena kontrol ini udah disebut sebagai kontrol persiapan persalinan. FYI ternyata hitungan HPL (hari perkiraan lahir) ini bisa dari tanggal haid pertama di haid terakhir sebelum kehamilan dan hitungan USG. Ada perbedaan antara dua hitungan ini dengan range 2 mingguan. Dan ternyata aku baru tau kalau HPL ini hitungan selama 40 minggu usia kehamilan. Kata dokter, usia bayi normal untuk lahir di antara minggu 37 - 42.
Karena sudah masuk persiapan persalinan, jadi rutin jalan pagi dan ngepel jongkok, senam ibu hamil juga karena hasil kontrol di minggu 36 kepala bayi belum semuanya masuk panggul meskipun posisi sudah oke (kepala di bawah). Berdasarkan tontonan youtube (ya gimana ya hamil pertama apa apa nanya google dan youtube haha), seharusnya di kehamilan pertama kepala bayi harus masuk panggul di minggu 36-37 untuk persalinan pervaginam/ normal. Ya siapa kan yang engga mau lahiran normal. Khawatir parah pas denger kalo kepala bayi belum oke banget tapi hati tetap optimis bisa lahiran normal karena setiap kontrol selalu dikasih afirmasi juga sama bidan kalau engga ada keluhan dan posisi bayi kepala sudah di bawah insya Allah pasti bisa lahiran normal.
Eh tapi ternyata, engga sampai itu aja. Hasil USG di minggu 36 itu ternyata si bayi udah 2.8 kg, dan langsung dilarang makan yang manis manis untuk mencegah bb berlebih untuk bisa lahiran normal. Pantangan ini agak susah karena sejak masuk bulan 9, nafsu makan naik drastis. Berat badanku luber sampai ke angka 61 kg. Naik 13 kg dari berat badan sebelum hamil.
Akhirnya karena optimis dan pengen lahiran normal, makin giat lah jalan kaki dan beres beres rumah, and it works. Alhamdulillah pas kontrol di akhir minggu 37 kepala udah makin masuk panggul, cairan vagina makin banyak keluar karena bayi makin turun ke panggul. Semua kondisiku dan bayi oke. Sangat bisa lahiran normal. Tinggal nunggu kontraksi. Kegalauan pun datang lagi, karena maksimal tindakan normal itu di minggu 41, lebih dari itu kalau tidak ada kontraksi maka harus ada tindakan yang mau engga mau harus di rumah sakit (bukan di klinik tempatku kontrol selama ini). Akhirnya disarankan untuk lebih banyak hubungan seks untuk merangsang kontraksi karena prostaglandin dari sperma. Waduuuh, agak susah ya karena hubungan seks saat hamil besar itu sangat engga nyaman. Sebelum pulang kontrol, bidannya bilang "Ya semoga pulang dari sini langsung kontraksi ya." Aku amin kan.
Sepulang dari kontrol itu ya masih biasa aja, masih kerja dan belum ngajuin cuti karena rencana cuti minggu depannya, beberapa hari sebelum hpl! Ternyataaaa... malam hari setelah kontrol itu pinggang belakang kerasa panas, awalnya engga curiga apa apa. Tapi pas tidur agak susah karena ternyata kontraksi udah dimulai, kontraksi masih kecil, masih serasa mau mens tapi bodohnya aku engga ngeh kalau ini tanda persalinan. Masih biasa aja malam itu. Sampai akhirnya pas pipis di tengah malam, flek coklat keluar, wah mau lahiran nih?. Shock, deg degan. Kontraksi langsung terasa, bener deh ini kayanya mau lahiran, tanda-tanda lahiran udah keliatan dan kerasa semua, dari mulai cairan vagina yang makin intens dari seminggu lalu, keluar flek, dan nyeri perut bagian bawah. Langsung stres karena engga nyangka secepet ini (seminggu lebih cepat dari HPL!) belum lagi urusan sekolah, makin stres. Malam ini akhirnya langsung bilang ke suami. Suami kebangun dan cuma nanya, "Mau ke klinik sekarang?" Aku diem, pikiran masih kacau. Tapi karena kontraksi belum terlalu kerasa aku bilang besok aja. Eh suami langsung balik tidur, engga khawatir sama sekali sementara aku udah cemas banget. Meskipun ada rasa bersyukur kalau bisa kontraksi spontan sebelum minggu 42 dan alhamdulillah sebelum ketuban pecah.
- Selasa, 23 Maret 2021
Besok paginya langsung lapor mama, dan langsung siap siap untuk ke klinik. Sambil kontraksi ringan itu aku selesain urusan sekolah dulu, lapor sana sini untuk perizinan maternity leave, bahkan masih sempet bikin soal ulangan harian dan pamit ke anak-anak kelas untuk on leave untuk beberapa waktu dulu. Super hectic. Kontraksi makin sering, suami sampe ngitungin jarak dari kontraksi satu ke kontraksi selanjutnya pakai stopwatch. Saat itu masih bisa ngobrol, ketawa dikit dan makan dengan enak, bab juga. Karena ini semua belum ada apa apanya dibandingkan dari gelombang cinta yang sesungguhnya keesokan harinya.
Masya Allah. 👼💖
to be continued...
Comments
Post a Comment