Angkot Bandung #part2
Even after 6 months, i still remember how i felt so much disappointed about public transportation. And now it's happening again. Too much.
So lewat tulisan ini aku ingin mencurahkan segala pemikiran aku dua minggu belakang ini. Kalian semua tahu kalau sekarang (untuk sementara) aku memang tinggal di Bandung. Iya. Siapa sih yang enggak kenal dengan kota besar yang satu ini, yang bahkan jadi salah satu destinasi liburan akhir pekan favorit semua orang. Enggak ada yang enggak suka dengan kota ini. Makanannya, udaranya, suasananya, tempat hitsnya, kampusnya, mahasiswanya, walikotanya, kecuali... macetnya.
So lewat tulisan ini aku ingin mencurahkan segala pemikiran aku dua minggu belakang ini. Kalian semua tahu kalau sekarang (untuk sementara) aku memang tinggal di Bandung. Iya. Siapa sih yang enggak kenal dengan kota besar yang satu ini, yang bahkan jadi salah satu destinasi liburan akhir pekan favorit semua orang. Enggak ada yang enggak suka dengan kota ini. Makanannya, udaranya, suasananya, tempat hitsnya, kampusnya, mahasiswanya, walikotanya, kecuali... macetnya.
Sedikit cerita, aku mulai tinggal di Bandung sejak 2010 hingga sekarang. Sudah tujuh tahun. Dulu pas awal awal kuliah masih sanggup main pas weekend. Sekarang? I'm giving up karena Bandung jadi super macet di akhir pekan. Kemajuan teknologi bikin Bandung makin terkenal, apalagi pak walikota yang aktif banget sharing serunya kota Bandung. Sejak itu makin banyak orang yang ingin main ke Bandung. Kemajuan teknologi ini pun dimanfaatkan oleh perusahaan transportasi berbasis aplikasi untuk bisa memasuki Bandung. Warga Bandung yang memang hedonis, kreatif, dan aktif menyambut baik kehadiran salah satu jenis transportasi ini. Mempercepat perjalanan tanpa macet, harga yang lebih murah, banyak promo, dan yang penting lainnya adalah memudahkan untuk berpergian ke tempat hits yang umumnya sulit dijangkau oleh angkot.
Tapi ternyata, kabar baik ini tidak menguntungkan bagi para supir angkot Bandung. Katanya, penghasilan mereka menurun hampir 100% setelah ada transportasi online. Bagiku yang sangat ketergantungan dengan angkutan umum, menyadari fakta angkot tersebut. Bandung yang semakin hari semakin macet membuat orang akan lebih memilih ojek online. Ojek online begitu membantu saat harus pergi tempat jauh untuk waktu yang sedikit. Kalau pakai angkot sudah pasti enggak akan keburu. Belum lagi pesan makanan, anak kosan sepertiku yang kadang malas keluar untuk beli makan, adanya gofood membawa kebahagiaan.
Kemudahan dan kenyamanan yang ditawarkan oleh transportasi online akhirnya membuat masyarakat Bandung memiliki variasi jenis transportasi. Tentu akhirnya para warga memilih transportasi yang banyak menguntungkan, yang tidak ditemukan di angkot. Tapi para supir angkot tidak mengerti hal ini. Akhirnya minggu lalu sempat ada isu akan ada pemogokan angkot di seluruh kota Bandung agar gubernur mencabut PP yang mengatur keberadaan transportasi berbasis online. Mereka merasa dirugikan dengan adanya transportasi online.
Sejak keluarnya isu itu ada teman yang tidak pernah menggunakan angkot bilang, "Ya bagus lah enggak ada angkot, mending mogok aja terus, jalanan jadi sepi." Agak kesal yaa dengarnya. Gimana dengan nasib para pengguna angkutan umum? Aku membela bukan hanya karena aku pengguna angkot tapi karena kenyataannya jumlah kendaraan pribadi lah yang menjadi pemicu kemacetan di Bandung. Ko seakan-akan angkot yang salah. Mungkin sekarang lebih banyak kendaraan pribadi karena memang kendaraan umum memprihatinkan, sangat tidak nyaman. Kalau sudah begini, memutus keberadaan angkot sebenarnya bukan solusi untuk mengurangi kemacetan Bandung. Yang harus dikurangi justru penggunaan kendaraan pribadinya. Back to topic, di hari rencana pelaksaaan mogok masal angkot itu ternyata pemprov Jawa Barat berhasil memediasi para supir angkot sehingga mogok masal tidak terjadi. Tapi masalahnya enggak sampai situ. Ternyata para supir angkot ini mencabut mogok masalnya dengan syarat yaitu tidak adanya ojek/mobil online yang beroperasi lagi di Bandung. Aku yang awalnya masih membela angkot akhirnya kesal juga. Para supir angkot dengan seenaknya mengatur kebebasan warga untuk memilih transportasi. Kenapa akhirnya warga memilih ojol dibanding angkot yaa karena ojol bisa tanpa macet, tanpa ngetem, pelayanan yang sopan, dan yang paling enak bisa door to door. Ojek online pun menang. Sayangnya, para supir angkot tidak sadar akan hal hal kenapa ojol bisa menang. Mereka hanya memaksa warga naik angkot tanpa konpensasi dan jaminan yang berarti terutama dari segi keamanan dan kenyamanan. Kalo saja dari dulu angkot enggak dzalim (ugal ugalan, ngasal masang tarif, jalan seenaknya enggak sesuai rute karena alasan macet, ngetem yang super lama) pada penumpang, mungkin nasib angkot akan jauh bisa bertahan.
Aku yang sekarang jadi pengguna dua jenis transportasi tau bahwa tidak semua angkot berkonotasi negatif. Aku cenderung pro dengan keberadaan angkot karena banyak supir angkot baik yang tujuannya mencari nafkah dengan keberkahan. Kalau sedang enggak buru-buru aku pun pasti akan lebih milih naik angkot karena emang hitungannya lebih murah dan ingin berbagi rezeki pada supir angkot yang sering kosong penumpang. Begitupun dengan pakai ojol, aku gunakan pada kondisi tertentu, misalnya buru-buru, atau mau ke tempat yang tidak dilewati angkot. Keduanya sangat bermanfaat, ini tergantung untuk kebutuhan apa kan.
Jadi agak sedih kalau sampai misalnya transportasi online sampai dihilangkan dari Bandung, sementara enggak ada perbaikan dari kinerja sopir dan keadaan angkot. Macet pun makin menjadi jadi karena angkutan pribadi pasti akan bertambah. Ingin rasanya bilang pada supir angkot, biarkan warga memilih transportasinya sendiri. Warga berhak memilih transportasi yang aman dan nyaman. Kalo memang angkot ingin terpakai oleh warga, perbaiki kualitas! Bukan hanya justru mencekal transportasi lainnya. Zaman sekarang sudah era modern, kehidupan akan kalah jika kita tidak mengenal pasar. Tapi yaa kita pun enggak bisa menyalahkan sikap para supir angkot yang begitu. Mereka yang rerata hanya lulusan SD/SMP memang tidak mengerti dengan masalah begini. Yang mereka tau hanya bagaimana mereka bisa mendapatkan uang. Miris.
Pada akhirnya, masalah ini memang tidak sederhana sesederhana kita bisa mengajukan protes pada walikota dan gubernur via sosial media. Dari masalah ini, aku semakin yakin bahwa kualitas kehidupan yang rendah disebabkan oleh pendidikan yang rendah. Kalau saja para supir angkot bisa bertindak dan berpikir lebih "matang", masalah pencekalan seperti ini mungkin tidak terjadi lagi.
Ingat, rezeki sudah ada yang mengatur juga.
Jalan Cipaganti, Bandung
Kamis, 19.21 WIB
Tulisan ini dibuat saat perjalanan pulang kerja pakai angkot. Padahal sudah satu jam tapi belum juga sampai kosan karena jalanan yang sungguh macet dan angkot yang tiba-tiba kehabisan bensin. Kesel yaa tapi pas lihat pak supir yang usaha jalan kaki untuk cari bensin untuk penumpang yang hanya 3 orang, tiba-tiba membuat terharu. Life is tough. Sesusah ini cari pekerjaan di era millenial. Akhirnya orang orang dengan ekonomi menengah ke bawah yang harus menerima dampak yang mungkin paling menyedihkan.
Serba salah.
Comments
Post a Comment