Ujian Harus Berkualitas, Bukan Formalitas!
Dunia pendidikan memang tidak bisa lepas dari sebuah kata ujian, tak hanya dalam kehidupan tetapi pembelajaran pun memang harus diuji sejauh mana kemantapan materi yang sudah diterima. Pengujian adalah hal yang sangat penting dalam sebuah kegiatan belajar karena selain untuk bahan evaluasi pembelajaran, dengan ujian itu setiap kemampuan dari peserta didik dan persentase sejauh mana pemahaman para peserta didik terhadap materi yang disampaikan oleh pendidiknya dapat diketahui.
Namun, kian hari ujian seakan-akan hanya dijadikan sebuah kegiatan formalitas oleh para pendidik Indonesia. Setiap semester siswa akan selalu mendapatkan dua jenis ujian ditambah dengan dua ujian di akhir jenjang sekolah tanpa adanya kejelasan bagaimana sebenarnya tujuan pokok dari kesemua ujian itu.
Begitu pula ujian dalam tahap pendidikan tinggi yang masih berupa kegiatan formalitas tak berkualitas. Hal ini terlihat dengan tidak variatifnya soal-soal ujian buatan dosen. Banyak dosen yang masih mempertahankan soal-soal lima sampai sepuluh tahun yang lalu, yang sudah difotokopi berkali-kali untuk ujian mahasiswa padahal sudah tidak sesuai dengan bahan ajar yang mereka sampaikan diperkuliahan yang sekarang. Bahkan lucunya, soal-soal tersebut sebenarnya sudah dimiliki oleh mahasiswa itu sendiri dari para seniornya dengan jawaban yang sudah diberikan para senior itu di soal tersebut. Dengan hanya mengopi, menghapal tanpa mencari kebenaran jawaban, mahasiswa pun bisa tinggal mengingat jawaban dari senior ketika soal ujian sama dengan soal yang mereka dapatkan. Proses pencontekkan tidak langsung pun terjadi seenaknya sehingga nilai pun didapat dengan sangat mudah.
Bagi dosen sendiri, memang bukan hal yang mudah untuk membuat sejumlah soal untuk berpuluh-puluh kali ujian ditengah-tengah kesibukkan mereka. Namun memang itu yang sebenarnya harus mereka lakukan jika ingin mengubah kebiasaan buruk ini. Lalu, apakah pantas jika mahasiswa yang sudah belajar namun nilai mereka terkalahkan dengan mahasiswa yang hanya belajar dari soal-soal ‘tahun kemarin’? Sehingga pada ujian berikutnya memungkinkan mahasiswa yang ujian sebelumnya belajar pun ikut-ikutan hanya belajar dari soal-soal ‘tahun kemarin’, otomatis kebiasaan buruk ini pun membudaya dengan cepat di lingkungan mahasiswa.
Dengan begitu, terlihat bahwa ujian hanya sebuah formalitas pendidikan bukan sebagai bahan evaluasi ajar. Tidak variatifnya soal mengakibatkan mahasiswa akan ketergantungan akan bocoran soal sehingga menjadi malas belajar yang berkorelasi dengan turunnya motivasi ketika mengetahui bahwa ujian yang mereka dapatkan disamakan dengan ujian ‘tahun kemarin’.
Memang, mengerjakan soal dengan mudah adalah hal membahagiakan bagi para peserta ujian, namun sebenarnya, sekecil apapun nilai akan lebih berharga jika memang itu hasil jerih payah sendiri tanpa bocoran soal. Hal ini memang dilematis, disisi lain dosen ingin nilai yang didapatkan mahasiswanya baik dan begitu pun dengan mahasiswa sendiri. Namun, jalan yang ditempuh adalah jalan yang tidak mendidik.
Dari segi materi, pendidikan tinggi mengkaji ilmu lebih mendalam dengan pemantapan profesi untuk mendukung dunia kerja di kemudian hari. Seharusnya kedua hal ini menjadi pedoman bahwa ujian di pendidikan tinggi jangan lagi berupa formalitas tapi justru harus berkualitas yang nantinya akan berpengaruh pada sumber daya manusia Indonesia.
Dalam hal ini, kedua pihak, baik pembuat soal (dosen) bahkan mahasiswa salah. Tidak ada yang patut dibenarkan dari kedua tindakan mereka. Yang harus dilakukan adalah penyadaran bahwa pendidikan adalah hal vital dalam humanisasi sehingga prosesnya harus berkualitas bukan sekedar formalitas disertai tindakan merubah budaya ini agar tidak berlanjut kepada budaya anak cucu.
Rosmalinda N
1005177
setelah tugas karangan argumentasi ini dibacakan, satu kelas pun bertepuk tangan :)
well done!
Comments
Post a Comment